Midnight Mass — film horor tapi indah
Jika harus menyebutkan film terindah yang saya tonton tahun ini, maka tanpa ragu saya akan menyodorkan judul serial Netflix garapan Mike Flanagan itu, Midnight Mass.
Mungkin orang akan bertanya-tanya, bagaimana bisa serial film bergenre horor tetapi justru dimasukkan dalam kategori film yang indah? Saya juga cukup sulit kalau diminta untuk menjelaskannya.
Bagi saya, Midnight Mass adalah jenis film horor yang bukan mencekam, tetapi menghangatkan dada. Midnight Mass memang menghadirkan makhluk menakutkan sebagaimana yang ada dalam film-film horor, namun makhluk ini lebih tampak seperti alegori dalam film ini.
Salah satu tokoh yang membuat Midnight Mass menjadi indah ialah tokoh utamanya, Riley Flynn. Riley mulanya adalah seorang pemuda Kristen yang taat. Al-Kitab menjadi lentera hidupnya. Namun, sebuah kecelakaan menguncang imannya. Kecelakaan yang diakibatkan aksi Riley yang mabuk saat berkendara itu membuat nyawa seorang perempuan melayang. Riley divonis hukum penjara selama 4 tahun atas kelalaiannya itu.
Selama di penjara, bayangan sosok perempuan yang jadi korban itu terus menghantuinya. Wajah yang luka dengan darah dan pecahan kaca menjadi teror yang menyelinap dalam setiap mimpi Riley.
Usai menjalani masa tahanannya, Riley bebas dan pulang ke pulau Crockett, kampung halamannya. Tentu dengan Riley yang baru, Riley yang ateis. Riley yang sudah kehilangan kepercayaan kepada Tuhan dan kehidupan setelah mati. Riley menjalani hidupnya — yang ia anggap sudah tidak berguna lagi — di pulau Crockett.
Pulau Crockett sendiri merupakan sebuah pulau kecil dengan jumlah penduduk yang tidak banyak. Pulau damai yang seolah kehilangan gairah hidupnya. Warga Crockett mayoritas beragam Kristen Katolik. Di sana ada gereja Katolik yang masih konservatif bernama St Patrick. Meskipun begitu, ada pula mereka yang beragama lain, seperti Sheriff Hassan yang beragama Islam.
Tadinya, St Patrick hanyalah gereja tua yang sudah lama sepi dari jemaatnya. Hanya beberapa orang saja yang melakukan ibadah di hari Minggu. Keadaan ini berubah ketika St Patrick kedatangan seorang pendeta muda misterius bernama Romo Paul Hill. Romo Paul seolah memberi nafas bagi kehidupan rohani di Crockett. Para jemaat dibuat terpukau dengan gaya kotbah Romo Paul yang berapi-api dan meyakinkan.
Puncaknya, ialah ketika Romo Paul bisa membuat Leeza Scarborough bisa berjalan lagi setelah bertahun-tahun duduk di kursi roda karena lumpuh. Romo Paul praktis membuat warga Crockett terpesona. Apa yang dilakukan oleh Romo Paul pun disebut oleh Bev, seorang staf gereja yang radikal dan menyebalkan, mirip seperti cerita soal mukjizat yang ada dalam Al-Kitab. Bev seolah menjadi juru branding bagi Romo Paul dan membuat warga Crocket ‘terjerumus’ dalam iman yang buta.
Sialnya, ‘mukjizat’ yang dipertontonkan oleh Romo Paul itu justru jadi pintu masuk untuk malapetaka di Crockett. Taklid buta pada agama, kemunafikan dan kerapuhan diri berkelindan menjadi masalah besar dalam semesta Midnight Mass.
Untuk sebuah film yang mengusung kritik tajam untuk perilaku beragama tanpa akal bukan hal baru bagi saya. Apalagi tema-tema seperti ini juga sudah lama saya temukan dalam serial novel spiritualisme kritis dari Ayu Utami. Yang menarik dari film ini justru cara Mike Flanagan dalam membangunan karakter yang begitu rupa.
Pembangunan karakter yang matang inilah yang membuat penonton mestinya paham mengapa tempo dalam Midnight Masa begitu lamban. Padahal, biasanya film horor memiliki tempo yang cepat lengkap dengan skoring yang menegangkan.
Lewat Midnight Mass, penonton seolah diajak memasuki lembah personal para karakternya. Pria yang sudah lama kehilangan iman, pria alkoholik yang dihantui rasa bersalah, wanita tua pengidap demensia yang menantikan cintanya, wanita yang sangat yakin dengan kebahagiaannya, pria munafik yang dibutakan oleh cinta hingga agamawan yang hanya menelan agama secara harfiah.
Lantas, apa yang indah dalam film ini?
Yang terindah itu akan Anda temukan ketika mengikuti semua seri ini perlahan-lahan sembari mempertanyakan banyak hal. Apakah fungsi agama? Apakah kita perlu beriman? Apakah kehidupan setelah mati itu ada? Lalu, jika kehidupan setelah kematian lebih berharga dengan saat ini, untuk apa kita hidup?
Semua jawaban indah dari pertanyaan-pertanyaan itu akan Anda temukan dalam serial ini. Anda pun akan percaya mengapa film ini saya sebut indah.