Oppenheimer (2023): Balada Kehidupan Sang Bapak Bom Atom
Saya bisa menyebut film Nolan ini sebagai film biopik terbaik yang pernah saya tonton. Bersanding dengan biopik Freddie Mercury di Bohemian Rhapsody (2018) dan biopik Neil Armstrong di First Man (2018). Film ini, benar-benar mengungkap kisah hidup bapak bom atom itu, J Robert Oppenheimer dengan sangat indah, solid dan hidup.
Sejujurnya, saya belum membaca American Prometheus, buku biografi Oppie, pemenang Pulitzer yang dipakai Nolan sebagai dasar cerita film ini. Tapi yang saya rasakan selama menonton film berdurasi 3 jam ini seperti membaca buku biografi.
Film ini dibuka dengan scene puitis, air yang menetes-netes. Lalu gambar beralih ke Oppie (Cillian Murphy) yang seperti sedang diinterogasi — belakangan jelang akhir film, ternyata itu adalah sidang tertutup.
Scene pendar-pendar cahaya reaksi fisi atom yang indah memanjakan mata, wajah depresif Oppie, dan scoring yang menghentak, memulai cerita awal biografi sang ilmuwan.
Oppie pada mulanya hanyalah seorang mahasiswa cupu yang sedang menjalani studi di Cambridge. Oppie saat itu sibuk dengan percobaan-cobaan di lab dan bukan siapa-siapa. Oppie sangat mengagumi Niels Bohr, fisikawan peraih Nobel yang sumbangsihnya soal teori atom sangat signifikan.
Oppie terkagum-kagum dengan dunia fisika kuantum. Pertemuannya dengan Niels, membawanya ke dalam level yang lebih tinggi. Dari Inggris, Oppie pergi ke Jerman. Di sana, Oppie kembali berkenalan dengan fisikawan atom, Heisenberg. Satu demi satu ilmuwan ia temui, termasuk Einstein. Inilah yang nanti menjadi modal Oppie untuk menciptakan senjata pemusnah massal itu.
Selain menyorot perjalanan intelektual sang ilmuwan, film ini juga menguliti kisah asmara Oppie yang problematik. Meniduri seorang wanita komunis dengan gombalan, “Aku sudah baca tiga jilid Das Kapital,” tapi malah menikahi istri orang lain karena gombalan fisika molekul. Tapi semua seolah bisa ditoleransi, karena seperti kata Oppie: semua bisa ditebus dengan kecerdasan!
Dari seorang fisikawan yang sempat diremehkan, Oppie perlahan bersinar usai dianggap sebagai orang yang membawa fisika kuantum ke Amerika. Padahal, fisika kuantum sempat dianggap lelucon. Gagasan besar yang pintu gerbangnya sudah dibuka oleh Einstein itu, benar-benar memikat para pembesar Amerika Serikat.
Fisika kuantum, dengan teori atomnya itu, dinilai bisa membuat Amerika lebih di depan ketimbang Uni Soviet atau Nazi. Amerika harus berlomba-lomba agar tak tertinggal. Maka tawaran itu pun datang ke hadapan Oppie: Anda mau memimpin project Manhattan?
Tak dinyana, setelah basa-basi yang agak menyebalkan, Oppie dengan senang hati menerima tawaran itu. Alasannya jelas, ia benci jika Nazi lebih dulu mendapatkan teknologi bom atom. Apalagi Hitler pernah mengolok-olok fisika kuantum dengan julukan ‘sains Yahudi’.
Proyek Kelahiran Bom Atom
Oppie pun memimpin project itu di Los Alamos, New Mexico. Ia merekrut kawan-kawan ilmuwannya. Mengatur divisi-divisinya, juga tentu mengorganisir semuanya agar target penemuan bom atom bisa segera terwujud. Tanpa disadari, Oppie menjelma sebagai seorang politikus.
Setelah serangkaian kegagalan, project itu akhirnya membuahkan hasil. Boooom! Bom atom diledakkan. Oppie menjadi bapak bom atom penghancur dunia itu.
Tapi apakah kelahiran bom atom menerbitkan bahagia di hati Oppie? Tidak. Dia sedih saat tahu ‘anaknya’ itu dijatuhkan di Jepang. Pada momen inilah, menurut saya, Nolan bisa menggambarkan nuansa ‘feeling guilty’ Oppie yang begitu murung. Bayangan wajah terkelupas karena panas bom hingga adegan Oppie yang menginjak mayat yang gosong. Muram.
Cillian Murphy benar-benar bisa memerankan tokoh sejarah ini dengan sangat presisi. Dari caranya berkacak pinggang, hingga wajahnya yang selalu tenang persis seperti Oppie.
Dicengkeram Rasa Bersalah
Belum juga pulih dari rasa bersalah yang menyiksa, Oppie justru dizalimi dengan manuver-manuver politik. Ia dicap sebagai orang kiri. Dituding sebagai mata-mata Soviet dan harus menjalani sidang tertutup. Malangnya nasibmu Oppie. Setelah dedikasi yang ia berikan untuk Amerika, ia justru dikhianati.
Film ini juga menguak ironi tentang bagaimana politik selalu mampu membenamkan setiap manusia kepada kekalahan. Oppie adalah satu tumbal politik yang merasakan hal itu.
Film ini, sekaligus menegaskan bahwa politik memang ruang yang penuh dengan pisau yang bisa menusuk kapan saja. Selalu saja ada siasat untuk menjatuhkan orang lain.
Oleh karena itu, film ini secara tak langsung juga ikut menasbihkan Nolan sebagai bapak sinema yang selalu mampu menghadirkan karya serupa balada kehidupan nyata manusia.