The Holdovers (2023): Keluarga, Keresahan dan Kesepian
Holdovers adalah salah satu film coming of age terbaik yang pernah saya tonton. Film ini, dengan ceritanya yang sederhana, menawarkan kehangatan yang bisa dengan mudah menyusupi hati. Sensasinya seperti kehangatan yang mencair dengan perlahan.
Holdovers membuat saya percaya bahwa keluarga bisa kita temukan di tempat manapun. Keluarga bisa jadi adalah orang yang tak melulu harus memiliki ikatan darah dengan kita. Keluarga adalah orang-orang yang mau berbagi keresahan, sepahit apapun itu. Dan semua itu, tertuang dalam film ini, yang diarahkan oleh Alexander Payne dan skenarionya ditulis oleh David Hemingson.
Angus Tully bersekolah di sekolah asrama Barton dan dikenal nakal. Ia diajar oleh seorang professor sejarah, Paul Hunham. Selain dua tokoh ini, ada juga Marry, koki kantin yang pendiam dan jutek.
Awalnya, hubungan ketiga orang ini jauh dari kata akrab. Bahkan mereka saling apatis. Mereka berjarak antara satu sama lain.
Saat libur natal dan tahun baru, Tully tak bisa pulang karena ibunya tak bisa dihubungi. Seluruh kawasan itu menjadi putih karena tertutup salju. Awalnya, Tully masih tinggal bersama teman-temannya yang belum bisa pulang. Namun, setelah jemputan helikopter datang, Tully jadi satu-satunya murid yang mesti tinggal. Ia pun ‘terjebak’ di asrama bersama dua orang ini.
Ketiganya terpaksa untuk berinteraksi. Lambat laun, ketiganya pun semakin akrab. Mereka pun menjalin chemistry layaknya keluarga.
Berbagi Keresahan Hidup
Sekilas The Holdovers mengingatkan saya pada Good Will Hunting. Obrolan antara Tully dan Pak Hunham benar-benar deeptalk yang sangat filosofis. Pak Hunham tergambar sebagai seorang sosok bijak bestari yang kebapakan. Rasanya pengen sekali memeluk orang seperti Pak Hunham yang baik hati dan berpengetahuan luas.
Dia juga stoik, tampak secara simbolis saat ia menghadiahi Tully dan Mary bukunya Marcus Aurelius. Tentunya vibes stoik dari Pak Hunham bukan secara simbolis saja. Tampak sekali jika Hunham sangat paham tentang apa yang bisa ia kontrol dan yang tidak bisa dikontrol. Apalagi, saat Pak Hunham ternyata juga menyembunyikan depresinya. Ini menjadi momen yang agak lucu dan pahit sekaligus.
Interaksi ketiga tokoh ini memuat permenungan mendalam tentang kedukaan, kesepian, depresi, masa lalu dan relasi keluarga yang rumit.
The Holdovers, bagi saya, adalah bingkai indah untuk memahami bahwa tiap orang memanggul deritanya masing-masing. Namun, bukankah hidup terus berjalan? Ya, maka warisilah semangat tangguh pria-pria Barton!